Kamis, 31 Oktober 2013

The Chronicle of Me and Puri Argenia *Part 3* (Trouble is a Friend)

Holaaa ketemu lagi! kemaren2 sempet ga posting dulu karena skr Puri Argenia lagi ribet2nya finishing. Tiap hari ada aja trouble baru, ditambah ortu yang tiap ada masalah, nanya solusi-nya ke saya. But still...i love u Mom...Di postingan sebelumnya sy udah share kan ya gimana kondisi Puri Argenia sebelum di bangun? Buat yang belom liat sy bikin versi collage-nya..


Itu cuma foto sebagian karena masih banyak lagi yg ga sempet difoto karena keburu pusing mikirin mau mulai darimana....yap! Itulah trouble pertama saya...sangking banyaknya yg kudu dikerjain jd bingung mau mulai darimana, dan darimana modal tambahan bisa saya dapat sesudah 50jt sbg modal awal ini habis nantinya. Ya..menyulap sebuah rumah tradisional tidak terurus menjadi sebuah villa dan guest house bukanlah perkara mudah. Kontraktor setempatpun banyak yang mundur bahkan mengajukan harga tinggi untuk restorasi rumah ini, karena "pr" nya emang luar biasa banyak. 

Setelah konsultasi sana sini, akhirnya saya memutuskan jalur yang lebih ekstrim......

Saya kerjain semua sendiri, tapi bukan saya yang nembok juga ya heheh...

Intinya saya ambil alih semua kerjaan disini, selain menjadi pimpinan proyek, bagian pengadaan barang, dan personalia. Saya juga megang bagian keuangan merangkap arsitek sekaligus owner dan CEO nantinya. Maruk amat semua bagian diambil?? bukan karena itu, tapi ini semata2 untuk efisiensi, saat itu saya belum sanggup menggaji karyawan kecuali tukang bangunan. Biaya bahan2 untuk membangun juga tidak murah sekarang ini, terutama semen, pasir, dan keramik yg harganya naik perlahan mengikuti harga kenaikan bbm. Kendala ga hanya sampai situ, banyak banget, lebih tepatnya  buuaannyaaaakk!! Tapi biar sedikit bisa membayangkan apa yang saya hadapi, saya bagi kesemua kendala itu kedalam beberapa bagian.

Kendala pertama:
Kendala paling pertama yang saya hadapi adalah mencari SDM alias tukang bangunan beserta asistennnya yang bias disebut laden sebanyak 10 pasang, celakanya karena saat itu banyak juga yang sedang membangun di Pangandaran, saya kalah start lebih dari 1 bulan. Alhasil, mayoritas tukang sudah memiliki pekerjaan di tempat proyeknya masing2..damn! Meski begitu, patah arang tidak ada dalam kamus saya...saya mencari hingga ke pelosok cibenda (sekitar 20km ke arah batu karas) untuk mengumpulkan tukang dan laden. Namun kerja keras saya belum membuahkan hasil, 3 minggu awal pembangunan hanya dilaksanakan oleh pegawai setia saya bernama Arip, yang sudah sejak saya kecil ikut membangun hampir semua properti milik keluarga.


Bersyukur saya punya dia, selama 3 minggu awal saya berada di pangandaran, dari pkl 6 pagi, hingga 10 malam dia (berbaju merah) bekerja membangun Puri Argenia demi membantu saya mengejar target. Baginya membangun properti keluarga saya, sama saja dengan membangun rumahnya sendiri. jd dia tidak lagi berhitung soal jam kerja, niatnya hanya ingin membantu saya juga tergerak melihat saya yang katanya bekerja sangat keras. Thanks Rip, i owe you a lot!

Sebulan pun berlalu, barulah tukang dari pangandaran beserta ladennya datang 2 pasang. Mendapat armada bantuan, Puri Argenia pun terus tergarap. Setelah "bongkar pasang personil" yang sangking seringnya udah kayak personil band. Akhirnya di bulan ke 3 barulah saya memiliki personil tetap berjumlah 20 orang terdiri dari 10 orang tukang, 10 orang laden dengan cerita yang cukup unik.

Ceritanya begini...keluarga ayah saya ternyata adalah pewaris tanah yang luasnya 10% dari peta desa cibenda, sebuah desa berlokasi kurang lebih 20km dr Pangandaran. Dengan luasnya yang melebihi 45 hektar dengan pemilik 9 bersaudara, membuat tanah seluas ini tidak mungkin diurus masing2 pemiliknya. Ditunjuklah Om Alan, anak bungsu dari salah satu klan yang bertugas merawat tanah milik bersama. Trus apa maksudnya cerita begini? Mau nyombong?? Eits! Jangan salah paham, bukan itu maksudnya, tapi memang cerita ini ada kaitannya dengan asal usul 20 pasang tukang yang saya mau ceritakan. 

Nah kembali lagi ke cerita. Tentunya dengan tanah perkebunan dan sawah seluas itu, keluarga kami punya karyawan penggarap yang jumlahnya puluhan, bahkan mendekati ratusan dan ternyata mereka sudah menjadi penggarap secara turun temurun sejak jaman leluhur keluarga kami. Kurang lebih kesetiaan mereka sudah seperti abdi dalem keraton yang tidak mau mengabdi selain kepada keluarga kami. Percaya atau tidak di desa masih ada yg seperti ini.

Mendengar anak dari kakak tertua keluarga (ayah saya memang anak tertua yg mewaris) ada yang sedang membangun dan terlihat kesulitan, mereka meninggalkan pekerjaan mereka dan berbondong2 dengan sepeda maupun motor datang ke Puri Argenia, untuk membantu saya. Dan terus terang ini adalah salah satu momen mengharukan buat saya. Dimana saya telah mencapai titik nadir namun Tuhan menyadarkan saya dengan caraNYA yang indah. Saya jadi sadar betapa saya lupa bersyukur, karena tidak pernah mau tahu soal tanah lah, penggarap lah, luasnya atau apapun yang berkaitan dengan aset ayah saya, padahal saya adalah pewarisnya. Saya merasa sombong karena menurut saya hal ini tidak penting karena hidup di kota. Luar biasanya lagi, meski saya sudah lupa dengan para penggarap, ternyata mereka sama sekali tidak lupa dengan saya. Mereka mengenal saya ketika kecil dan menghormati saya begitu rupa, subhanallaah... Dari sinilah akhirnya saya mendapatkan apa yang saya cari. Satu hal lagi yang mau saya bagi, jangan pernah lupa bersyukur, karena tidak jarang yang kita butuhkan sudah ada di sekitar kita, hanya kita tidak mampu melihatnya karena lupa bersyukur atas apa yang kita punya.

Kendala Kedua:
Meski mereka berniatnya adalah membantu, tapi bukan berarti saya tidak menggaji mereka. Walaupun mereka menggunakan kata "teu langkung Aden" yang artinya terserah, sebagai nilai pengganti lelah mereka. Setelah berkonsultasi dengan Om Alan, akhirnya saya memberikan nominal sesuai standar upah tukang dan laden di Pangandaran. Meski begitu masalah baru muncul...Karena terbiasa bekerja di desa, jam istirahat mereka luar biasa banyak! 

Bayangkan saja, mereka masuk jam 8, lalu bekerja sampai jam 9 kemudian berhenti setengah jam untuk sarapan dan merokok, setelah itu mereka bekerja lagi sampai pukul 12 lalu berhenti untuk makan siang hingga pukul 1. Pada pukul 1-2 mereka bekerja lagi, lalu mereka berhenti pada pukul 2.30 hingga pukul 3 untuk istiraha ngopi+merokok. Pukul 3 bekerja lagi hingga pukul 4 itupun 15 menit sebelum pulang mereka sudah berhenti bekerja untuk beres2. Total mereka bekerja hanya 5 jam sehari, belum termasuk istirahat2 kecil yang mereka buat sendiri.

Melihat kondisi ini, saya tidak mungkin membiarkannya, apalagi dalam kondisi dikejar target lebaran saat itu. Akhirnya pada suatu hari, saya kumpulkan mereka untuk membuat suatu kesepakatan. Gaji mereka saya naikan, namun dengan kompensasi jam istirahat hanya 1 kali yakni 12-1 siang ditambah suplemen makanan/minuman pada pukul dua siang. Bagi yg tidak sanggup, boleh pulang dan kembali menggarap tanah keluarga. Luar biasanya tidak ada yang mundur, jawaban mereka semua tetap sama  "teu langkung, kumaha Aden". Ok, rapat pun bubar semua kembali ke pos-nya masing2 dan mulai hari itu, semua diberi target harian yang berlaku sistem reward and punishment yang disepakati bersama. Beruntung mereka semua bersemangat, dan bersaing sehat untuk saling beradu cepat menyelesaikan target demi bonus yang menanti.

Kendala Ketiga: 
Kendala kali ini adalah musuh paling besar semua kontraktor, yakni "harga". Tidak pernah berkecimpung dalam dunia properti bikin saya buta sama sekali soal harga, sedangkan efisiensi baru akan tercapai bila kita mendapat harga termurah. Bagaimana cara mendapat harga termurah? Ya tau harga pasar. Setelah konsultasi dengan beberapa teman dan googling, akhirnya saya menemukan harga pasar yang saya butuhkan dan mulai mencari toko material yang bisa memberi saya harga terendah. Tak kenal maka tak sayang berlaku dimana2, termasuk dalam hal nyari toko material yang bisa diajak kerjasama. Kekeluargaan masih jadi kultur utama dalam berbisnis di indonesia. Perlu pendekatan khas indonesia dimana sebungkus rokok bisa jadi pengikat tali silaturahmi. Bukan rahasia umum bahwa rokok selain sebagai pemuas dahaga bagi penikmatnya, rokok juga menjadi tanda bahwa "saya ingin bersahabat" dengan anda, maupun sebagai penghormatan kepada seseorang. Malah memberi sebungkus rokok dan segelas kopi hitam dirasa lebih memuliakan penerimanya ketimbang uang asli sebagai pengganti lelah, meski nilainya lebih besar sedikit. Hal ini tentunya akan menyulitkan bagi pengusaha di daerah yang tidak merokok.

Setelah lobi sana sini, akhirnya dua toko material terbesar di Pangandaran dan satu toko keramik yang juga terbesar di kota Banjar, bersedia memberikan harga terendah hanya untuk barang berkualitas tertinggi di tiap jenisnya, untuk Puri Argenia. Thank GOD!

Sebenarnya masih banyak kendala lain, tapi rasanya terlalu banyak untuk diceritakan disini, namun satu hal yang pasti, selama kita terus mencoba dan tidak berhenti berusaha, maka selalu ada jalan. Meski kemungkinannya hanya 0.01% itu tetap kemungkinan kan? Jadi, jangan berhenti berusaha sampai titik akhir. Kita boleh berprediksi, tapi tetap Tuhanlah yang menentukan segalanya selaku "dalang" di kehidupan ini, tugas kita sebagai "wayang" hanyalah menjalankannya. 

Buat yang mau memulai usaha, jangan ragu, jangan berhenti meski sepertinya akan gagal. Karena terkadang solusinya baru akan kita temukan setelah kita berbenturan dengan masalah itu. Segitu dulu kali ya buat postingan kali ini, buat kendala keempat dan selanjutnya, lalu kenapa target pembangunan sampe molor hingga 3 bulan, dan bagaimana saya dapat tambahan modal? ceritanya ada di postingan selanjutnya.

See you. On the next post!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar